Beginilah Cara Mengganti Shalat Yang Ditinggal Selama Bertahun-Tahun..., SIMAK DAN SHARE
Tuesday, February 28, 2017
Edit
Sahabat
Islami, Shalat merupakan ibadah wajib yang harus kita laksanakan dalam
keadaan apapun dimana anda berada tanpa terkecuali. Akan tetapi sifat
dan sikap manusia memang kadang selalu tergoda oleh jin / syetan yang
selalu mengganggu manusia, terkecuali sakit yang begitu parah sehingga
tidak melaksanakan shalat. Dan bagaimana jika shalat kita tertinggal
atau bolong - bolong selama bertahun - tahun, apa yang kita perbuat,
berikut ada beberapa pertanyaan akan hal ini dengan jawabannya pula.
Pertanyaan :
Assalamu'alaikum
ustadz. Duh ribet nih mau darimana nanyanya. Saya memang muslim tapi
sering ninggalin shalat 5 waktu dan saat Ramadhan saya juga banyakan
bolongnya. Pertanyaan saya gmn cara mengganti sholat fardu yang
tertinggal ataupun puasa Ramadhan terhitung dari baligh sedang sekarang
usia saya sudah seperempat abad lebih dikit. Apa ada kafaratnya juga.
Mohon banget jawabanya ustadz?
Jawaban :
Penanya
yang budiman, semoga selalu mendapatkan rahmat dan hidayah Allah swt.
Kami yakin bahwa pertanyaan yang Anda ajukan lahir dari kesadaran
keimanan yang mendalam. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan di sini, dan
kami akan memulai dengan menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang
pertama.
Sebagaimana
telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban
bagi setiap orang muslim yang sudah mukallaf. Dan termasuk salah satu
rukun Islam seperti halnya puasa. Meninggalkan shalat sama halnya dengan
merusak agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Bahwa shalat adalah
tiang agama, barang siapa yang menegakkannya sungguh ia telah
menengakkan agama, dan barang siapa yang merusaknya sungguh ia telah
merusak agama”. Karenanya kelak di akhirat amal pertama seorang hamba
yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt adalah shalat.
Shalat lima waktu sebagai kewajiban seorang muslim yang mukallaf jika
karena udzur seperti lupa atau ketiduran ditinggalkan maka harus diqadla
(diganti). Namun bagaimana jika dengan sengaja meninggalkan shalat
tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan secara syara` (‘udzur syar’i)
dan itu dilakukan selama bertahun-tahun? Apakah wajib
meng-qadla/mengganti?
Dalam kasus
seperti ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama dari kalangan
Madzhab Hanafi menyatakan bahwa jika seseorang yang shalatnya banyak
yang ditinggalkan (bolong-bolong) dan tidak tahu secara pasti berapa
jumlah shalat yang ditinggalkan maka ia tetap wajib meng-qadla`-nya
sampai ia yakin bahwa ia telah terbebas dari tanggungjawabnya. Lantas ia
wajib menentukan waktu yang pernah ditinggalkannya. Dan dimulai dengan
men-qadla` shalat Dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir kali
ditinggalkan. Hal ini untuk memberikan kemudahan.
قَالَ
الحَنَفِيَّةُ: مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ كَثِيرَةٌ لَا يَدْرِي عَدَدَهَا،
يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ
ذِمَّتِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَيِّنَ الزَّمَنَ، فَيَنْوِي أَوَّلَ ظُهْرٍ
عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، أَوْ يَنْوِي آخِرَ ظُهْرٍ
عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، وَذَلِكَ تَسْهِيلاً
عَلَيْهِ. (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة
الثانية، ۱٤۰٥ هــ/۱٩٨٥ م، ج، ۲، ص. ۱٤۳)
“Para ulama
dari kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa seseorang yang shalatnya
banyak ditinggalkan hingga dia sendiri tidak tahu berapa jumlah yang
ditinggalkannya wajib meng-qadla-nya sampai ia yakin terbebas dari
kewajiban itu. Dan ia wajib menentukan waktunya (waktu yang selama itu
tidak menjalankan shalat). Lantas ia berniat (meng-qadla`) shalat Dhuhur
yang pertama kali atau yang terakhir ia tinggalkan untuk memberi
kemudahan baginya”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)
Sedang
menurut kalangan Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali orang yang
meninggalkan shalat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga ia
tidak ingat lagi berapa jumlah yang ditinggalkan maka ia wajib
meng-qadla` sampai ia yakin ia terlepas dari kewajibannya dan tidak
harus menentukan waktunya. Tetapi cukup baginya untuk menentukan shalat
yang pernah ditinggalkan, seperti Dhuhur atau Ashar.
وَقَالَ
الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ
يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ مِنِ الْفُرُوضِ، وَلَا
يَلْزَمُ تَعْيِينُ الزَّمَنِ، بَلْ يَكْفِي تَعْيِينُ الْمَنْوِيِّ
كَالظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ مَثَلًا (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته،
بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، ۱٤۰٥ هــ/۱٩٨٥ م، ج، ۲، ص. ۱٤۳)
“Ulama dari
kalangan Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat; wajib
baginya untuk meng-qadla shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin
bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardlu (yang pernah
ditinggalkan), dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan
menentukan yang diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti Dhuhur
atau Ashar”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)
Sedangkan
menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang pernah
ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan sampai
menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau hartanya.
Misalnya jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan kehilangan
mata pencariannya.
إِذَا
كَثُرَتِ الْفَوَائِتُ عَلَيْهِ يَتَشَاغَلُ بِالْقَضَاءِ مَا لَمْ
يَلْحَقْهُ مَشَقَّةٌ فِي بَدَنِهِ أَوْ مَالِهِ، أَمَّا بَدَنُهُ فَأَنْ
يَضْعُفَ أَوْ يَخَافُ الْمَرَضَ وَأَمَّا فِي الْمَالِ فَأَنْ يَنْقَطِعَ
عَنِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ بِحَيْثُ يَنْقَطِعُ عَنْ مَعَاشِهِ (ابن
قدامة المقدسي، المغني، بيروت-دار الفكر، الطبعة الأولى، ۱٤۰٥هـ، ج، ۱،
٦٨۱)
“Apabila
banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang meninggalkan
shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal itu tidak
menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun masyaqqah
badannya adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang
masyaqqah harta adalah ia terhenti dari men-tasharruf-kan hartanya
sekiranya ia terputus mata pencariannya”. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)
Dari kedua
pendapat yang telah kami paparkan, maka dalam pandangan kami pendapat
yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab untuk menentukankan
waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang lupa kapan
waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.
Namun dalam
kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga yang
dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk
meng-qadla’ shalat yang pernah ditinggalkan karenanya qadla-nya tidak
sah. Tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat dan puasa sunnah.
وَتَارِكُ
الصَّلَاةِ عَمْداً لَا يُشْرَعُ لَهُ قَضَاؤُهَا وَلَا تَصِحُّ مِنْهُ
بَلْ يُكَثِّرُ مِنَ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الصَّومُ وَهُوَ قَوْلُ
طَائِفَةٍ مِنَ السَّلَفِ كَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ صَاحِبِ الشَّافِعِي
وَدَاوُدَ وَأَتْبَاعِهِ وَلَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ مَا يُخَالِفُ هَذَا
(إبن تيمية، الفتاوى الكبرى، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الاولى،
۱٤۰٨هـ/۱٩٨٧ م، ص. ج، ٥، ص. ۳۲۰)
“Orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk
meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula
qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga
memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para
ulama salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii
dan Imam Dawud azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak
ada satu pun dalil yang bertentangan dengan pandangan ini”. (Ibnu
Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet
ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)
Pandangan
Ibnu Taimiyyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru
sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para
ulama terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh
didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm. Dalam kasus ini Ibnu
Hazm lebih lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya memperbanyak
perbuatan baik, shalat sunnah untuk memperberat timbangan amal
kebajikannya kelak pada hari kiamat, taubat, dan istighfar.
وَأَمَّا
مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا
يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا فَلْيُكَثِّرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ
وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ (السيد السابق، فقه
السنة، القاهرة، الفتح للإعلام العربي، ج، ۱، ص. ۱٩٦)
“Adapun
orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya,
maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya selamanya.
Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan shalat sunnah
agar timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi berat, taubat,
dan meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla”. (lihat as-Sayyid
as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, juz, 1, h.
196)
Dari
penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang
meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia tidak
ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus
meng-qadla` shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada
kafarat baginya. Namun dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah,
maka qadla’ tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di samping
itu juga orang tersebut agar memperbanyak kebajikan, shalat sunnah,
bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Demikian penjelasan yang dapat
kami sampaikan, semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam